Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Juli 2014

Dampak Poligami pada Kesehatan Istri yang Dimadu

Peristiwa terakhir adanya pejabat yang diduga melakukan poligami saat menjadi pejabat membuat saya tergelitik untuk mencoba melakukan review dampak poligami bagi kesehatan.

Saya sendiri belum pernah melakukan survei seputar permasalahan ini dan belum mendapatkan penelitian dari Indonesia yang telah dipublikasi secara internasional. Tetapi dalam praktek sehari-hari sebagai seorang dokter ternyata masalah keluarga bisa menjadi pencetus seseorang mengalami gangguan kesehatan.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang masalah ini yang bisa saya kerjakan adalah mencari bukti klinis tentang masalah poligami ini dengan kesehatan. Untuk itu saya melakukan penelusuran melalui ‘PUBMED” salah satu situs ternama yang digunakan secara luas untuk mengetahui penelitian yang telah dikerjakan dan dipublikasi pada berbagai jurnal ternama.

Untuk penelusuran mengenai poligami ini saya menggunakan keyword “Polygamous married”. Surprised! Ternyata ada beberapa penelitian yang melihat dampak poligami pada berbagai permasalahan kesehatan khususnya bagi istri pertama. Saya membatasi diri untuk membuka jurnal terakhir saja dan bentuk artikelnya sebuah artikel penelitian.

Menarik apa yang saya dapati dari penelusuran tentang penelitian seputar praktek poligami tersebut. Ternyata sudah ada penelitian tentang hal ini pada orang-orang yang mengalami poligami di negara-negara Afrika, Asia, terutama negara-negara Arab dan bahkan yang menarik lagi bahwa di era globalisasi ini praktek poligami juga terjadi di Amerika dan Eropa.

Kenapa seseorang pria melakukan poligami? Satu penelitian dari Nigeria melaporkan 5 alasan kenapa seseorang melakukan praktek poligami antara lain ingin memiliki anak yang lebih banyak, meningkatkan prestise dimata teman atau kelompoknya, meningkatkan status dalam masyarakatnya, menambah anggota keluarga untuk melakukan pekerjaan, misal dalam bidang pertanian dan terakhir untuk memuaskan dorongan seksualnya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Berbagai alasan yang muncul jika kita tanya kepada teman atau kolega yang melakukan poligami, mereka menjawab untuk menyalurkan keinginan seksualnya dari pada berhubungan dengan wanita tunasusila dan tidak halal, lebih baik menikah lagi dan halal yang penting bisa berlaku “adil”. Saya membatasi diri tidak akan membahas masalah “adil” ini lebih lanjut karena sudah masuk ranah agama.

Gangguan jiwa

Hal yang sering kita dengar dalam perbincangan poligami seputar kita adalah pernyataan “wanita mana yang mau dimadu?” Dan pada akhirnya memang ada juga wanita yang mau dimadu ketika suaminya dengan berbagai alasan minta izin untuk menikah lagi.

Berbagai penelitian yang dilakukan antara lain yang saya baca melaporkan poligami dari Syria, Palestina, Turki, Jordan, Kuwait mendapatkan bahwa istri pertama akan mempunyai masalah psikosial, keluarga dan masalah ekonomi yang lebih besar dibandingan pada wanita dalam perkawinan monogami.

Penelitian yang dilakukan Al-Krenawi pada wanita Syria mendapatkan bahwa wanita yang mengalami poligami mengalami penurunan kepuasan hidup dan kepuasan perkawinan. Para wanita yang mengalami poligami akan mengalami masalah gangguan jiwa yang berdampak juga buat kesehatannya.

Mereka lebih mudah jatuh dalam depresi, gangguan psikosomatik, mudah mengalami kecemasan dan juga bisa mengalami paranoid. Tetapi secara umum fungsi keluarga wanita yang mengalami poligami ternyata tidak ada perbedaan dengan wanita monogami. Penelitian ini dilakukan di Syria dan di publikasi pada World Journal Psychiatry tahun 2013.

Penelitian lain yang dilakukan di Jordania juga mendapatkan hal yang sama bahwa wanita yang mengalami poligami akan merasa rendah diri, menjadi tidak berharga, mengalami gangguan psikosomatik dan gangguan somatisasi. Jika ditanyakan apakah mereka yang mengalami poligami setuju mengalami poligami mereka umumnya setuju berbeda dengan wanita yang monogami mereka tidak setuju untuk dipoligami.

Penelitian di Turki yang juga membandingkan kehidupan wanita yang dipoligami dan monogami mendapatkan bahwa wanita yang dipoligami ternyata lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan, lebih mudah mengalami stress dibandingan wanita yang dipoligami. Berbagai penelurusan artikel ilmiah ini mendapatkan bahwa memang akhirnya para istri yang dimadu akan lebih mudah mengalami gangguan kesehatan dibandingkan dengan wanita yang tidak dimadu.

Kadang kala memang wanita memilih untuk dicerai dari pada dimadu tetapi pertanyaannya apakah wanita yang tidak bersuami lebih sehat dibandingan dengan wanita yang perkawinannya tidak memuaskan misal karena dimadu.

Satu survei yang dilakukan oleh Chung dan Kim dari Universitas Yonsei Korea Selatan dan baru saja dipublikasi beberapa hari lalu di Jurnal PlosOne melihat hubungan antara perkawinan dan kepuasan perkawinan dengan kesehatan. Ternyata pasangan yang puas dalam perkawinannya akan lebih sehat dari pada seseorang yang belum menikah.

Tetapi seseorang yang menikah dan tidak puas dengan perkawinannya mempunyai permasalahan kesehatan yang sama dengan orang yang tidak menikah. Hal inilah yang menghasilkan kesimpulkan bahwa kepuasan perkawinan merupakan hal yang penting untuk kesehatan dibandingkan perkawinan itu sendiri. Survei besar ini melibatkan 8.538 orang dari China, Jepang, Taiwan dan Korea dan dipubliksi di jurnal PlosOne bulan Agustus 2014.

Kembali lagi akhirnya menjadi buah simalakama buat seseorang yang dimadu: tetap meneruskan perkawinan dan dimadu atau minta bercerai dari pada dimadu. Keputusan yang diambil sama-sama akan membawa dampak buat kesehatan mereka.

Akhirnya apa yang saya sampaikan ini merupakan hasil penelitian di luar negeri, budaya kita berbeda dengan budaya Asia timur maupun masyarakat Arab. Tentu perlu penelitian dengan responden orang Indonesia untuk menjawab apakah para istri yang dimadu di Indonesia juga mempunyai permasalahan kesehatan yang sama dengan para wanita yang dimadu dari negara lain yang telah saya ungkapkan diatas.

Rabu, 27 Juni 2012

7 Tanda Anak Mencintai Anda

Siapa bilang bayi dan balita tidak bisa mengekspresikan rasa cinta mereka pada kedua orangtuanya? Ini dia cara mereka mengungkapkan rasa cintanya.

1. Bayi menatap mata Anda

Ketika bayi sedang menatap mata Anda, sebenarnya ia sedang berusaha keras mengingat wajah Anda. Tak ada hal lain yang ia pahami tentang dunia ini, tetapi ia menyadari bahwa kehadiran Anda penting untuknya.

2. Bayi selalu memikirkan Anda

Ketika si kecil berusia sekitar 8-12 bulan, ia akan mulai mencari-cari saat Anda tidak ada dan langsung tersenyum saat Anda kembali.

3. Balita Anda tantrum

Semua amukan dan tangisannya jangan diartikan sebagai ia tak lagi mencintai Anda. Ia tidak akan sedemikian marah jika ia tidak memercayai Anda sepenuhnya.

4. Ia selalu mencari Anda saat sedih

Andalah orang pertama yang ia cari saat ia terjatuh atau bersedih. Anak-anak di usianya mungkin belum mengerti makna "aku mencintaimu", tetapi tindakan mereka berbicara lebih keras daripada kata-kata.

5. Si kecil memberikan hadiah

Orangtua mana yang tidak bahagia menerima hadiah dari balita mereka, entah itu berupa bunga yang ia petik di pinggir jalan atau hasil pekerjaannya mewarnai.

6. Si kecil mencari perhatian

Di usia pra-sekolah, si kecil sudah mulai bersikap kooperatif dan ia akan selalu berusaha untuk membuat kedua orangtua terkesan. "Lihatlah aku" akan selalu sering Anda dengar di usianya saat ini.

7. Ia menceritakan rahasianya

Berbahagialah jika si kecil di usia sekolah selalu bercerita kepada Anda, termasuk tentang hal-hal yang membuatnya malu. Itu berarti ia memercayai Anda, meski ia sering menolak dipeluk atau dicium di depan orang lain.

Sabtu, 23 Juni 2012

Berpetualang Meningkatkan Rasa Bahagia

Berlibur ke tempat-tempat wisata kini menjadi pilihan banyak orang untuk melepaskan diri dari kesibukan dan menyegarkan pikiran. Namun, jika Anda ingin rasa bahagia lebih tinggi, pergilah melancong atau berpetualang.

Pengalaman tak terlupakan yang kita dapatkan dari traveling ke tempat-tempat baru ternyata memberikan rasa kepuasan yang lebih besar daripada jika kita berlibur ke tempat mewah atau menonton konser agar orang lain terkesan.

"Ketika seseorang mengeluarkan uang untuk melakukan sesuatu supaya orang lain terkesan, itu akan mengurangi rasa kepuasan," kata Ryan Howell, asisten profesor bidang psikologi dari San Francisco State University.

Howell melakukan survei terhadap 241 orang dan menemukan bahwa mereka yang mengeluarkan uang untuk melakukan pengalaman baru yang sesuai dengan minat merasakan kepuasan lebih. Orang-orang tersebut pada akhirnya akan merasa lebih kompeten dan tidak kesepian.

"Pertanyaan yang harus ditanyakan pada diri sendiri adalah alasan kita mengeluarkan uang. Motivasi pribadi itu akan mempengaruhi rasa bahagia," katanya.

Berlibur seharusnya membuat tubuh dan pikiran kembali prima. Jadi, jangan sampai uang yang disisihkan untuk mendanai liburan malah tidak memberikan pengalaman apa-apa.

Senin, 21 Mei 2012

Pertengkaran Orangtua Lukai Emosi Anak

Teriakan, pintu yang dibanting, hingga aksi saling mendiamkan, yang kerap mewarnai pertengkaran pasangan rumah tangga ternyata bisa melukai emosi anak dan berdampak jangka panjang.

Anak-anak usia balita yang tinggal dengan kedua orangtua yang sering terlibat percekcokan akan tumbuh menjadi anak yang secara emosional tidak aman sehingga mereka rentan depresi, menderita kecemasan, dan mengalami gangguan perilaku di usia sekolah dasar. Perkembangan konsep diri juga bisa terganggu.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Child Development membuktikan hal tersebut. Penelitian dilakukan terhadap 235 orang dari keluarga kelas menengah di beberapa wilayah di Amerika Serikat. Para responden responden diwawancara mengenai pertengkaran orangtua ketika mereka masih bersekolah di TK. Kemudian 7 tahun kemudian mereka diwawancara kembali.

Menurut anak-anak tersebut, ketika mereka masih duduk di bangku TK dan menyaksikan orangtua sering bertengkar, mereka merasa tidak aman dan kurang terlindungi. Mereka juga mengaku merasa sengsara dengan pertengkaran itu. Sebagian besar anak yang orangtuanya tidak akur itu juga cenderung lebih agresif dan mudah marah.

Yang menarik, ternyata tidak semua konflik rumah tangga itu menyebabkan masalah pada anak. Jika orangtua bisa berkonflik secara dewasa, mampu menahan diri untuk tidak saling berteriak atau melakukan aksi kekerasan, pengaruh pertengkaran itu tidak negatif.

"Masalah terjadi setiap hari. Namun jika orangtua bisa bekerjasama menyelesaikannya serta menampilkan emosi yang positif saat berkonflik, hasilnya justru positif bagi anak," kata ketua peneliti E.Mark Cummings, profesor psikologi dari Universitas Notre Dame.

Dengan kata lain, perbedaan pendapat antar suami istri yang bisa diselesaikan secara baik justru akan mengubah cara pandang anak terhadap suatu konflik.

Ditambahkan oleh Cummings, untuk membantu anak memiliki kematangan emosi yang baik, kuncinya justru bukan membesarkan mereka dalam keluarga yang steril dari konflik. Orangtua seharusnya mampu memberi contoh pada anak bagaimana mengendalikan emosi untuk "bertengkar" secara adil dan menyelesaikan konflik dengan dewasa.

"Bertengkar adalah hal yang normal dalam rumah tangga. Tapi orangtua harus sadar bahwa anak-anak mereka melihat dan mendengarkan," katanya.

Kamis, 05 April 2012

Jangan Biasakan Memukul Anak

Para orang tua sebaiknya menghindari kekerasan ketika hendak memberikan nasihat atau teguran pada anak. Sebuah riset terbaru mengindikasikan, menampar atau memukul anak sebagai hukuman atas kesalahannya dapat meningkatkan risiko gangguan mental di kemudian hari.

Para peneliti mengatakan, beberapa orang dewasa, yang ketika masa kanak-kanak mendapatkan hukuman fisik dari orangtua mereka, sebanyak 2-7 persen terdignosis mengalami kasus gangguan mental - termasuk depresi berat, gangguan kecemasan dan paranoia.

Risiko gangguan mental juga rentan diderita orang yang semasa kecilnya mendapatkan penganiayaan, seperti misalnya kekerasan fisik atau seksual, atau pengabaian emosional. Temuan ini dipublikasikan pada 2 Juli 2012 dalam journal Pediatrics.

Hasil temuan ini sekaligus mendukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa hukuman fisik pada anak dapat menyebabkan kesehatan mental yang buruk di masa dewasa, termasuk peningkatan risiko depresi, pikiran bunuh diri dan penyalahgunaan alkohol.

Peneliti berpendapat  bahwa dengan menghilangkan semua hukuman fisik pada anak, akan dapat mengurangi prevalensi gangguan mental.

Memukul anak suatu hal yang wajar
Hukuman fisik terhadap anak-anak sampai saat ini masih kontroversial, dan praktek ini ditentang oleh American Academy of Pediatrics. Namun faktanya, hampir 50 persen orang dewasa AS mengaku mereka pernah mengalami hukuman fisik saat masih anak-anak, seperti didorong atau dipukul.

Dalam studi baru, Tracie Afifi beserta rekanya dari University of Manitoba di Kanada, menganalisis informasi dari lebih 34.600 orang dewasa AS usia 20 tahun dan lebih tua, yang disurvei antara tahun 2004-2005.

Masing-masing peserta diberikan pertanyaan, "Sebagai anak seberapa sering Anda pernah di dorong, ditarik, di tampar atau dipukul oleh orangtua Anda atau orang dewasa yang tinggal di rumah Anda?"

Sekitar 6 persen dari peserta mengaku bahwa mereka mengalami berbagai bentuk hukuman fisik dalam intensitas yang beragam yakni jarang, cukup sering, atau sangat sering di masa kecil.

Hasil analisa menunjukkan, partisipan yang mengalami hukuman fisik, 59 persen lebih mungkin untuk memiliki ketergantungan alkohol, 41 persen lebih rentan mengalami depresi dan 24 persen lebih mungkin mempunyai gangguan panik, dibandingkan dengan partisipan yang tidak menerima hukuman fisik.

Alternatif hukuman


Peneliti mengungkapkan, orang tua dan dokter harus menyadari hubungan ini. Harus ada suatu kebijakan yang fokus untuk mengurangi hukuman fisik pada anak. Peneliti berpendapat, masih ada cara lain selain dengan kekerasan untuk menegur anak, seperti misalnya dengan penguatan perilaku positif.

Meski ada hubungan antara kekerasan pada anak dan risiko gangguan mental di kemudian hari, tetapi peneliti menegaskan, temuan ini tidak menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Penelitian ini juga mengatakan bahwa penelitian ini dibatasi beberapa hal, seperti misalnya peserta diminta untuk mengingat pengalaman masa kecil mereka, yang mungkin tidak sepenuhnya akurat, meskipun penelitian menunjukkan orang bisa mengingat kejadian negatif di masa kecil juga.

Selasa, 28 Februari 2012

Anak Balita Lebih Bahagia Memberi daripada Menerima

Mengajarkan anak balita berbagi akan membantunya mengembangkan keterampilan sosial dan mencegah sifat egois. Bahkan, si kecil juga sebenarnya lebih bahagia memberi daripada menerima.

Tim yang terdiri dari tiga psikolog dari University of British Columbia di Kanada mengungkapkan, anak berusia kurang dari dua tahun pun sudah bisa diajari pentingnya berbagi. Mereka juga lebih suka memberi benda miliknya.

"Orang dewasa sering berasumsi bahwa secara alamiah anak balita egois. Namun dari pengamatan yang kami lakukan sebenarnya mereka lebih bahagia jika memberi," kata Ketua Peneliti, Lara Aknin.

Penelitian tersebut dan juga penelitian lain yang dilakukan terhadap orang dewasa secara konsisten menunjukkan bahwa rasa bahagia dari kegiatan memberi telah berakar secara alamiah dalam diri setiap manusia.

Senin, 16 Januari 2012

3 Hal yang Memengaruhi Kebahagiaan

Setiap orang pasti ingin mendapatkan suatu kebahagiaan dalam hidup. Tetapi sayangnya tidak semua orang bisa merasakannya karena berbagai hambatan. Padahal, kebahagiaan tidak hanya membuat pikiran menjadi rileks, tapi juga sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan.

Dr. Taufiq Pasiak, Kepala Devisi Neurosains/ Neuroanatomi Departemen Anatomi-Histologi, Fakultas UNiversitas Sam Ratulangi Manado, mengatakan bahwa terdapat hubungan sangat erat antara kebahagiaan, spiritualitas dan otak.

"Kebahagiaan bisa membuat orang hidup lebih lama, survival (mampu bertahan), dan mengurangi angka kesakitan," katanya, saat acara seminar Healthy Brain for Healthy Life, di MRCCC Siloam Semanggi, Sabtu, (14/1/2012).

Taufiq menerangkan bahwa ada tiga faktor yang bisa mempengaruhi kebahagiaan seseorang seperti dijelaskan dibawah ini:

1. Intentional activity

Aktivitas keseharian menyumbang 50 persen kebahagiaan. Artinya, setiap orang harus bisa hidup berdampingan dengan orang lain dalam suatu hubungan yang bernilai. Bergaul, berteman, mengunjungi keluarga, silaturahmi, merupakan salah salah satu bentuk kegiatan yang dapat menaikkan tingkat kebahagiaan seseorang. "Bangsa kita ini sebenarnya bangsa gotong royong. Nilai positif untuk menaikkan level kebahagiaan sudah ada, tapi kurang di eksplorrer dengan baik", katanya.

2. Faktor genetik

Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa kebahagiaan itu sebenaranya dapat diturunkan alias genetik. Menurut taufiq, seseorang yang memiliki keluarga bahagia, maka dia mempunyai peluang lebih besar untuk bahagia ketimbang orang dengan keluarga yang tidak bahagia. "Bukan kebahagiaannya yang diturunkan, tetapi peluang menjadi bahagia. Jadi ciptakan keluarga yang bahagia, karena itu peluang untuk menciptakan anak yang bahagia," katanya.

3. Bersyukur

Status sosial atau kedudukan seseorang di masyarakat rupanya bukanlah faktor terbesar yang berkontribusi terhadap kebahagiaan, karena pengaruhnya hanya 10 persen. Bahkan lanjut Taufiq, kekayaan hanya memiliki korelasi rendah dengan tingkat kebahagiaan. "Yang paling penting seseorang harus banyak bersyukur terhadap apa yang dia miliki," katanya.