Selama ini, kebanyakan masyarakat masih sulit membedakan antara asma dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau juga dikenal dengan istilah COPD. Hal tersebut menurut Prof. Dr. Faisal Yoenoes SpP (K), dari Departemen Paru dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) disebabkan karena gejala yang ditimbulkan hampir sama.
“Kadang-kadang orang bingung membedakan asma dan PPOK. Kalau asma itu biasanya terjadi pada usia muda dan memburuk pada malam hari. Kalau malam hari makin sesak, makin sering batuk itu asma,” katanya saat acara Diskusi Publik Sosialisasi Penyakit Tidak Menular, Senin, (15/8/2011) lalu, di Jakarta.
Sedangkan PPOK umumnya dialami pada usia sekitar 45 tahun dan tidak ada faktor keturunan atau riawat penyakit dalam keluarga. Faktor risiko terbesar karena kebiasaan merokok dan polusi udara.
Penyakit paru kronik dapat menyebabkan kapasitas fungsional serta kualitas hidup yang menurun. Meski telah ditangani dengan pengobatan yang standar dan rasional, banyak penderita paru kronik yang mengalami kecacatan (disability). Sesak nafas dan cepat lelah merupakan indikasi utama yang menggangu. Gejala sesak nafas ini akan bertambah dengan aktifitas fisik. Proses kecacatan mulai berjalan dimana pada waktu awal aktivitas fisik berat yang menimbulkan sesak. Penderita akan mengurangi aktivitas fisiknya sampai akhirnya sesak terjadi hanya dengan aktivitas ringan.
Kemampuan fungsionalnya mulai berkurang, aktivitas sehari-hari seperti mandi, makan atau berpakaian tidak bisa dilakukan sendiri sehingga memerlukan bantuan. Hubungan dengan lingkungan sosial berkurang dan kemampuan individu untuk berperan di masyarakat menjadi terbatas. Penderita hanya berdiam diri saja di rumah sehingga akhirnya akan terjadi sesuatu deconditioning syndrome, yang mana telah terjadi penurunan dari semua fungsi organ tubuh.
Upaya untuk meningkatkan kemampuan fungsional serta kualitas hidup penderita paru kronik harus sejalan dengan pengobatan medikamentosa. Upaya ini dilaksanakan melalui program rehabilitasi paru. Berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikembangkan, rehabilitasi paru menjadi penanganan standar yang direkomendasikan untuk penderita penyakit paru kronik terutama penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Gejala awal seperti batuk berdahak di pagi hari harus diwaspadai sebagai tanda PPOK. Selain itu, pada orang dengan PPOK akan mengalami sesak nafas pada saat jalan kaki. Sehingga, apabila orang tersebut berjalan lebih lambat dibanding orang seumurannya, ada kemungkinan mengidap PPOK.
“Gejalanya, batuk, sesak napas, makin lama makin buruk, jadi mirip asma. Selama ini, orang tahu hanya asma saja. Lebih baik periksa fungsi paru-paru apa sudah ada obstruksi atau tidak. Kalau sudah ada, berarti PPOK,” ucapnya.
Ia juga menambahkan, untuk pengobatan orang dengan PPOK tidak jauh berbeda dengan asma. Tetapi yang membedakan adalah, asma bisa saja menghilang dengan bertambahnya umur, sedangkan PPOK tidak dapat sembuh secara total dan akan terus berjalan memburuk seiring bertambahnya usia.
Faisal menambahkan, sejauh ini belum ada data pasti mengenai jumlah kasus PPOK di Indonesia. Dalam waktu dekat ini, kira-kira bulan September 2011, kata Faisal, Balitbangkes Kementerian Kesehatan akan melakukan survei bersama dengan FKUI untuk meneliti kasus PPOK.
“Nanti kita akan tahu berapa jumlahnya. Surveinya sendiri akan kita lakukan selama tiga bulan, semoga di akhir tahun kita punya angka PPOK di Indonesia,” terangnya.
Untuk mengetahui apakah seseorang berisiko mengidap PPOK atau tidak, dapat dengan mudah diketahui dengan cara memperhitungkan indeks Brinkman. Seseorang dikatakan berisiko mengidap PPOK apabila indeksnya di atas 200.
“Caranya, banyaknya batang rokok rata-rata sehari dikali tahun. Misalnya kalau orang merokok 10 batang sehari, maka jika dikalikan 20 tahun hasilnya kan 200. Jadi kalau sudah diatas itu dia punya risiko PPOK,” tandasnya.
Sumber : health.kompas.com
EmoticonEmoticon